Minggu, 30 April 2017

Ironi WPFD 2017 : Standar Ganda Kebebasan Pers di Indonesia

Ironi WPFD 2017 : Standar Ganda Kebebasan Pers di Indonesia
Gambar: (ist).
SETIAP tahun, tanggal 3 Mei diperingati sebagai perayaan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers. Perayaan World Press Freedom Day (WPFD) ini diselenggarakan untuk mengevaluasi kebebasan pers di seluruh dunia; untuk mempertahankan kemerdekaan media dari setiap serangan; dan untuk memberikan penghormatan kepada wartawan yang kehilangan nyawa mereka dalam menjalankan profesinya.

Tahun 2017 ini, Indonesia menjadi tuan rumah WPFD. Banyak aktivitas disiapkan selama perayaan WPDF, 1-4 Mei 2017. 1200 peserta dari 100 negara akan hadir dalam perayaan kali ini. Indonesia berniat menunjukkan pada dunia bahwa kebebasan pers merupakan prioritas pemerintah negara yang posisinya ada diperingkat 124 dalam index kebebasan pers RSF 2017.

Mungkin di wilayah lain Indonesia kebebasan pers bisa dibanggakan. Tapi tidak di dua provinsi paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat. Dua provinsi ini menghadapi masalah serius dalam hal kebebasan pers. Pembatasan wartawan asing, kekerasan pada jurnalis, diskriminasi terhadap jurnalis asli Papua hingga suap masih sering terjadi di dua provinsi ini. Hal-hal ini semestinya menjadi keprihatinan dalam perayaan WPDF. Tidak berlebihan jika dikatakan Indonesia memiliki standar ganda dalam menjamin Kebebasan Pers.Standar ganda dalam kebebasan pers bukanlah sesuatu yang harus dibanggakan!

Akses jurnalis asing

Sejak Presiden Joko Widodo membuka akses jurnalis asing ke Papua pada Mei 2015, Indonesia mengaku telah mengijinkan 39 jurnalis asing masuk ke Papua. Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura, pada tahun 2015 mencatat 15 jurnalis asing masuk ke Papua hingga awal 2016. Delapan jurnalis dari Pasifik dan Afrika datang melalui program Kementerian Luar Negeri Indonesia pada bulan November 2015. Empat jurnalis dari Selandia Baru datang pada bulan September dan Oktober 2015. Dua jurnalis Perancis datang pada bulan Juli dan Oktober 2015. Dan satu jurnalis Belanda, satu-satunya jurnalis yang datang dengan visa turis, meliput di Papua pada bulan November 2015.

Jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades mengaku membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua. Beberapa tahun sebelumnya, pengajuan visanya ditolak. Ia hampir putus asa. Setelah pengumuman Joko Widodo pada bulan Mei, ia kembali mendatangi Kedutaan Besar Indonesia di Wellington untuk mengajukan aplikasi visa baru. Ia mendapatkan visanya setelah bisa meyakinkan Kedubes Indonesia bahwa ia hanya akan meliput pembangunan di Papua. Namun di Papua, Blades ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak mengkonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya.

Dua jurnalis Perancis yang datang ke Papua mengalami perlakuan berbeda. Cyril Payen, jurnalis France24 ditolak visanya setelah hasil liputannya di Papua pada bulan Juli 2015 disiarkan. Payen mengatakan Indonesia marah atas hasil liputannya sehingga menolak visanya. Sedangkan jurnalis Radio France, Marie Dumieres dicari oleh polisi saat melakukan liputan di Papua.

“Polisi menahan dua warga sipil Papua karena dianggap membantu saya mendapatkan akses penerbangan ke pedalaman Papua. Dua orang itu diinterogasi polisi,” jelas Marie.

Selain jurnalis, The International Partnership Mission yang terdiri dari delapan organisasi non pemerintah internasional, yakni Article 19, Centre for Law and Democracy, Committee to Protect Journalists, Freedom House, International Federation of Journalists, International Media Support, Open Society Foundations Programme on Independent Journalism and the Southeast Asian Press Alliance juga datang ke Papua pada bulan Oktober 2015. Misi ini datang untuk melihat implementasi dari dibukanya akses jurnalis asing ke Papua oleh Presiden Joko Widodo. Namun misi ini ditolak saat ingin bertemu pihak Kepolisian dan TNI di Papua.

Maret tahun ini Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp dideportasi. Dua jurnalis berkebangsaan Perancis ini menurut pemerintah Indonesia telah menggunakan visa on arrival untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Keduanya dituduh melanggar Pasal 122 Undang-Undang Imigrasi karena izin tinggalnya tidak sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Tak lama berselang, penulis lepas Al Jazeera, Jack Hewson, masuk dalam daftar cekal keimigrasian Indonesia. Hewson dicekal atas permintaan pihak TNI saat tiba di Bandara Soekarno Hatta dan ingin melanjutkan perjalannya ke Papua.

Diskriminasi dan kekerasan

Februari lalu, delapan jurnalis Indonesia atas sponsor WAN-IFRA datang ke Papua untuk melakukan riset tentang kebebasan pers. Riset ini mengkonfirmasi dugaan bahwa pejabat pemerintah dan aparat keamanan bersikap diskriminatif terhadap jurnalis asli Papua. Jurnalis asli Papua mengalami stigmatisasi sebagai bagian dari kelompok pro Papua Merdeka sedangkan jurnalis non Papua dianggap sebagai pro Indonesia sehinga mengakibatkan intimidasi dan fragmentasi di antara komunitas jurnalis.

Jurnalis asli Papua sangat sulit mendapatkan konfirmasi dari aparat keamanan di Papua apabila terjadi insiden penembakan atau penangkapan terhadap warga sipil Papua.

“Waktu penembakan seorang warga di Boven Digoel, saya minta konfirmasi kepada Kapolda melalui pesan singkat, tapi malah dijawab, bukannya medianya sudah diblokir,” ungka Arnold Belau, wartawan suarapapua.com.

Beberapa jurnalis asli Papua seperti Octovianus Pogau (almarhum), Abeth You (Koran Jubi), Ardi Bayage (suarapapua.com) pernah mengalami tindakan kekerasan dari anggota polisi karena meliput aksi demonstrasi damai rakyat Papua.

“Setelah foto-foto para aktivis, tak berapa lama kemudian datang satu truk Dalmas dari Kepolisian Resor Jayapura Kota membubarkan masa pendemo. Ada oknum polisi yang bertindak kasar kepada pendemo, dan ada oknum polisi yang mendatangi saya, merampas kamera dan menghapus foto-foto. Saya dianggap pendemo, padahal saya sudah menunjukkan kartu pers saya," cerita Abeth, tentang kekerasan yang menimpanya pada tahun 2015 lalu.

Ardi Bayage bahkan dimasukkan ke dalam sel Polsek Abepura karena meliput demo Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk mendukung United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) diterima sebagai anggota resmi di Melanesian Spearhead Group (MSG). Ia ditahan di sel bersama tujuh orang pendemo. Belakangan, polisi beralasan tidak tahu jika Ardi Bayage adalah seorang jurnalis.

Larangan menerbitkan laporan jurnalistik melalui tindakan intimidasi dan kekerasan juga kerap terjadi. Dalam laporan delapan jurnalis ini seorang jurnalis Papua Selatan Pos mengaku diintimidasi polisi dan pemerintah, termasuk dua larangan publikasi pada tahun 2007 dan 2008. Ia diancam dengan hukum pidana dan dilarang melaporkan program investasi di Merauke yang dijalankan Presiden Joko Widodo.

Sejak tahun 2012 -2016 Aliansi Jurnalis Independen Kota Jayapura mencatat 63 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua. Tidak ada satupun dari kasus ini yang diselesaikan secara hukum.

Suap

“Saya sempat heran, kenapa setelah wawancara banyak jurnalis yang masih menunggu narasumber. Ternyata mereka menunggu narasumber memberikan uang. Beberapa kali saya juga terpaksa mengambil uang yang diberikan narasumber karena kalau saya tolak, narasumber tidak akan memberikan uang pada jurnalis lainnya yang sama-sama mewawancarainya. Uang itu saya sumbangkan ke gereja saja,” ungkap seorang wartawan yang bekerja di salah satu media Jakarta.

Seorang jurnalis lainnya mengaku para pejabat daerah tidak segan-segan memberikan uang dalam jumlah besar untuk membuat berita bohong tentang kesuksesan pembangunan di Papua yang dalam fakta sebenarnya sangat bertolak belakang.

Suap menjadi persoalan serius yang dihadapi jurnalis di Papua. Index kebebasan pers 2016 yang dirilis RSF menyebutkan penyebab suap atau praktek amplop di Papua adalah rendahnya upah jurnalis di Papua. Suap dalam praktek jurnalistik di Papua merupakan imbalan untuk menulis hal-hal yang positif saja. Akibatnya, persoalan-persoalan seperti degradasi lingkungan yang disebabkan oleh program pembangunan atau kekerasan terhadap warga sipil yang dilakukan oleh aparat keamanan jarang dilaporkan oleh jurnalis.

Pemblokiran situs

Perkembangan teknologi ini dianggap sebagai ancaman oleh Pemerintah Indonesia. Situs-situs yang selama ini kritis terhadap pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua mulai diblokir. Setelah suarapapua.com di blokir sejak tahun 2016, pemerintah Indonesia memblokir situs ampnews.org, infopapua.org, papuapost.com dan freepapua.com.

“Dugaan awal alasan terhadap pemutusan akses tersebut adalah dengan alasan situs tersebut mengandung unsur “separatif”. Dan terlepas dari itu, pemutusan akses seharusnya berpatokan pada standar hak asasi manusia,” kata Asep Komarudin, Kordinator Riset LBH Pers Jakarta.

Terkait pemblokiran situs-situs ini, menurutnya ketentuan pemblokiran harus jelas ditetapkan oleh undang-undang. Penentuan tentang konten, harus dilakukan oleh otoritas peradilan yang berwenang atau badan yang independen.

Selain lima situs tersebut, pemerintah Indonesia juga memblokir situs-situs freewestpapua.org, bennywenda.org dan ulmwp.org.(*)


Penulis adalah editor di tabloidjubi.com dan mantan Ketua AJI Kota Jayapura dua periode (2010-2013, 2013-2016). Saat ini penulis adalah pemegang sertifikat ahli pers dari Dewan Pers Indonesia.

Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya dalam bahasa Inggris pada situs newint.org.


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

0 komentar

Posting Komentar