Minggu, 30 April 2017

Jelang WPFD 2017, Tiga Jurnalis Papua Alami Ancaman Pembunuhan

Jelang WPFD 2017, Tiga Jurnalis Papua Alami Ancaman Pembunuhan
Ketiga jurnalis yang mengalami ancaman pembunuhan saat melaporkan ancaman tersebut di Mapolres Wamena, Jayawijaya, Sabtu (29/4/2017) - Dok. IJTI Papua
Jayapura -- Hanya menjelang dua hari rangkaian peringatan World Press Freedom Day (WPFD) 2017 di Jakarta, kekerasan dan intimidasi kembali dialami oleh jurnalis di Papua.

"Tiga jurnalis TV di sekap, diancam dan dirampas ckameranya untuk di hapus isi camera dalam sidang pelanggaran pidana pemilu oleh KPU Tolikara di Kantor Pengadilan Negeri Wamena,Jayawijaya, Papua, Jumat (28/4/2017)" kata Riyanto Nay, kepala Bidang Humas Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Papua melalui rilis yang disiarkan, Sabtu (29/4/2017) pagi.

Dijelaskan oleh Riyanto, ancaman ini bermula saat tiga jurnalis masing-masing, Ricardo Hutahaen (Metro TV), Audi (Jaya TV) dan Mesak (TVRI), melakukan peliputan sidang. Awalnya, saat ke tiga jurnalis memasuki ruang sidang ketiganya sempat dilarang hakim ketua yang memimimpin sidang untuk mengambil gambar. Hakim sempat menanyakan asal ketiga wartawan televisi tersebut. Setelah ketiganya memberikan identitas, ketiganya diijinkan mengambil gambar secara leluasa dengan catatan tidak mengganggu jalannya sidang.

"Massa yang duduk dalam ruangan sempat melarang ketiga jurnalis untuk mengambil gambar tapi hakim ketua membela ketiga jurnalis tersebut," lanjut Riyanto.

Ketika sidang dilanjutkan setelah sempat diskors, ketiga jurnalis duduk untuk memwawancarai pihak pengadilan. Namun tiba-tiba 20 orang datang menuju ketiganya.

"Mereka mengancam akan membunuh ketiga jurnalis jika tidak menghapus gambar yang sudah diambil. Bahkan kamera Ricardo di rampas dan dihapus secara paksa. Mereka juga mengusir ketiga jurnalis dari dalam ruang persidangan sehingga para jurnalis harus mengamankan diri keluar area Pengadilan Negeri wamena," ungkap Riyanto.

Ketiga jurnalis ini, secara resmi melaporkan aksi menghalangi proses pekerjaan jurnalistik ini ke Mapolres Wamena, Sabtu pagi.

Terpisah, Ketua Umum IJTI, Yadi Hendrayana, melalui dalam keterangan tertulis yang dikirim Sabtu, 29/4/2017 mengatakan IJTI dan Satgas Anti-Kekerasan Dewan Pers akan melakukan advokasi dan penyelidikan atas tindakan yang dilakukan sejumlah oknum terhadap tuga.jurnalis TV di Wamena, Papua,saat meliput sidang pelanggaran Pemilu KPU Kabupaten Tolikara.

Yadi menilai ada dua kasus hukum yang terjadi dan menimpa para korban saat itu. Pengancaman dan penyekapan adalah delik umum yang legal standing-nya berada pada korban langsung, bukan pada perusahaan.

Kedua, terkait penghalangan kerja sebagaimana diancam Pasal 18 ayat 1 UU Pers. Hal ini mengacu pada Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 yang legal standing-nya ada pada perusahaan pers.

"IJTI mengimbau terhadap semua pihak, agar menghormati profesi jurnalis yang pada dasarnya dilindungi undang-undang," ucap Yadi.

Yadi tegas meminta kepolisian serius dan bersikap tegas menindak siapapun, baik masyarakat sipil maupun nonsipil, yang telah mengancam dan melakukan tindak kekerasan kepada para jurnalis.

Awal tahun 2017, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura merilis laporan kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2016. Setidaknya 10 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua selama 2016. Kasus-kasus tersebut meliputi pemukulan, pengrusakan sarana untuk peliputan, pelaporan ke pihak berwajib atas materi peliputan, serta pengusiran wartawan yang hendak mengonfirmasi isu tertentu kepada narasumber.

“Penghapusan foto dan video itu terkait liputan isu-isu sensitif seperti gerakan Papua merdeka,” kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Jayapura, Fabio Maria Lopes Costa dalam keterangan persnya awal tahun 2017.

Kasus-kasus ini terjadi Timika, Wamena, Kota Jayapura, Nabire, Dogiyai, Manokwari, dan Sorong.

Kasus pelanggaran kebebasan pers terbanyak berada di Kota Jayapura yakni tiga kasus, sedangkan di Wamena sebanyak dua kasus. Sementara pelanggaran kebebasan pers di lima daerah lainnya hanya satu kasus. 

Dari laporan 10 jurnalis tersebut, tujuh kasus pelanggaran kebebasan pers terkait dengan aparat keamanan, dua kasus dengan pihak keamanan, dan satu kasus dengan anggota DPRD.

“Kesimpulannya, pelanggaran kebebasan pers di Papua teryata dilakukan oleh para pihak yang tergabung dalam tiga pilar demokrasi, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislative,” tambah Fabio. (*)


Posted by: David Sobolim
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

0 komentar

Posting Komentar