Acara Makrab untuk menyambut mahasiswa baru ini memang bersifat tahunan, dengan sub tema “Mewujudkan Kaum Intelektual Papua yang memiliki karakter Religius, Kreatif, Inovatif & Mampu Berdaya Saing.
Agenda positif ini baru pertama kali mendapat perlakuan represif yang tidak menyenangkan dari Aparat Polresta Batu.
Acara berlangsung pada pukul 10.00 WIB ini sempat berlangsung lancar. Sampai pada pukul 12.00 WIB, para aparat tersebut mendadak memberhentikan acara kegiatan mahasiswa dengan menanyakan kembali surat perizinan perihal penyewaan tempat.
Kronologisnya mencakup beberapa poin, yaitu :
- Jam 12:00 : 2 orang orang tidak dikenal (OTK) yang mengaku dari keamanan Warga Kota Batu datang mengintai dan masuk ke tempat kegiatan dengan alasan meminta surat ijin penggunaan villa dan surat ijin kepolisian.
- 12:30 : Anggota kepolisian Polresta Kota Batu mengenakan seragam kepolisiaan datang menggunakan mobil polisi (strada).
- 13.00 : Sedang berlangsung negosiasi antara pihak kepolisiaan, OTK dan panitia.
- 15.00 : Negosiasi berhasil meski berlangsung selama dua jam, dengan prosedur yang memadai dari IMAPA Malang (perizinan dsb). Kemudian Aparat pergi meninggalkan tempat kejadian.
- 17.00 : Kembali didatangi, kali ini TNI datang dengan alasan bahwa TNI adalah Bintara
beserta namanya, dan nama panitia-panitia yang bertanggung jawab untuk melakukan pendataan demi keamanan.
Abdul Imake Yelipele, selaku ketua umum IMAPA Malang menjelaskan, “terjadi hal semacam ini bukan baru kali ini saja, setiap kali Mahasiswa Papua melakukan kegiatan semacam ini ataupun aktivitas lain, pihak aparat keamanan selalu begini terus.
Dengan alasan yang tidak masuk akal. Kadang mereka selalu mempermasalahkan surat perizinan, tidak izin dari RT/RW. Selama pengalaman saya, saya tidak pernah diintervensi oleh militer atau didatangi oleh aparat. Stigma negatif itu selalu dibangun oleh Aparat.” Ujar Pele
Pelle menambahkan jika sebelum acara berlangsung. IMAPA sendiri sudah memenuhi prosedur yang ada, “sebelum kita melakukan kegiatan apapun, itu kita selalu memberikan izin pemberitahuan ke pak RT/RW setempat, kemudian ke Polsek. Itu kita sudah lampirkan dengan rundown acara, susunan panitia, susunan kepengurusan inti, itu semua kita laporkan.Kawan-kawanjuga mengatakan bahwa pendataan Babinsa bukan tugas TNI, namun tugas RT/RW dan Polri.” Ujar Pele.
Dalam kasus ini, Aparat Negara menyalahi aturan Pasal 8 ayat 1 dalam Undang-Undang no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Itu artinya kebebasan intelektual mahasiswa untuk menemukan,mengembangkan, mengungkapkan, dan atau mempertahankan kebenaran ilmiah menurut kaidah, metode keilmuan, dan budaya akademik dibungkam.
Organisasi IPMAPA berasaskan UUD 45 dan di bawah pengawasan pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun, IMAPA pun harus mengesahkan surat pernyataan 6 ribu dan dipersulit untuk melakukan kegiatan akademik mereka.
Merlince Kegou selaku Ketua Pelaksana Makrab IMAPA 2018 menjelaskan, “Makrab sendiri itu hanya meningkatkan kapasitas kebersamaan kami saja, sebagai Mahasiswa Malang. Saya sebagai ketua pelaksana, saya bingung, apa yang menyebabkan mereka bisa datang. Jujur kalo saya sendiri merasa keberatan. Apalagi jika surat pernyataan yang sampai harus dimaterai 6 ribu itu mengenai pelaksaan kegiatan ini, karena IMAPA ini sudah diakui oleh Provinsi Papua dan Papua Barat dan kami berada dalam naungan kedua provinsi itu. Dan ini privasi, tapi tiba-tiba diganggu begitu. Kami merasa terganggu, merasa didiskriminasi begitu.” Ujar Merlince.
Diskriminasi seperti ini pasti memberikan ancaman dan tekanan psikologis yang sangat kuat terhadap Mahasiwa Papua. Jika ditelisik, Polisi dan TNI memang selalu menjadi aktor di balik peristiwa semacam ini.
Indayu Dwinka Irawan salah seorang Mahasiwa Baru yang kebetulan baru pertama kali mengikuti Makrab IMAPA, mengeluarkan statemen kekecewaan dirinya terhadap Aparat Negara, “kalau merasa kesal terhadap aparat-aparat, cukup lumayan sih. Dipandang miring gitu, siapa sih yang gak sakit hati. Orang Papua sendiri kan bagian dari Indonesia, kenapa harus dicurigai. Dan kita adalah organisasi yang positif, dan tidak ada sedikitpun kita melenceng dari nilai-nilai pancasila” Ujar Inda.
Hak-hak berpendapat dan mengungkapkan aspirasi di muka umum tertulis dalam Undang-Undang no 9 tahun 1998 tentang tentang Kebebasan Berpendapat di Muka Umum. Kebebasan berpendapat di muka umum juga adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang isinya, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”,
“Kita semua jelaskan baik-baik dengan mereka bahwa ini semua adalah organisasi sosial yang tidak ada sangkut pautnya dengan politik atau gerakan tambahan. Dan IMAPA adalah menaungi seluruh mahasiswa Papua yang ada di Malang” Ujar Pele.
Copyright ©TRANSISI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
0 komentar
Posting Komentar