Rabu, 03 Mei 2017

Media di Papua ‘TIDAK DIIJINKAN BEBAS’ Karena Ada Aspirasi Penentuan Nasib Sendiri

Media di Papua ‘TIDAK DIIJINKAN BEBAS’ Karena Ada Aspirasi Penentuan Nasib Sendiri
Poster kampanye kebebasan pers di Papua pada acara malam budaya Papua di Century Park, Minggu (30/4/2017) – Foto: Alves F.
Jakarta -- Ruang untuk kebebasan berekspresi, khususnya bagi mereka yang hendak menyuarakan hak untuk menentukan nasib sendiri atau isu-isu separatis di Papua, dengan sengaja dibatasi. Alhasil semua ekspresi terkait hal itu dilarang, direpresi, hingga dikriminalisasi dengan penerapan pasal-pasal makar.

Hal itu berimplikasi langsung terhadap pembatasan akses pers di dan ke Papua oleh jurnalis-jurnalis asing maupun lokal, baik yang hendak meliput isu tersebut maupun memverifikasi hal-hal terkait apa yang sebetulnya terjadi di lapangan.

Demikian diungkap Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Perwakilan Indonesia, Usman Hamid dalam diskusi publik Papua Side Event terkait kondisi kebebasan pers di Papua di Century Park Hotel, Jakarta, Selasa (2/5/2017).

“Wacana separatis adalah satu topik yang paling hangat di Indonesia, dan tentu saja Papua menjadi sorotannya. Indonesia tidak pernah kompromi terkait isu tersebut sejak Soekarno hingga pasca Soeharto. Semua ekspresi terkait itu dilarang, dan direpresi, atau dikriminalisasi dengan pasal makar,” kata Usman Hamid.

Dia menjelaskan Papua sempat mengalami “musim semi” kebebasan bereskpresi di era pemerintah Gusdur, namun tidak berlangsung lama setelah Megawati menjabat dan disusul Presiden SBY.

Di era Joko Widodo, sempat ada angin segar untuk membuka ruang bagi akses jurnalis, namun kenyataan di lapangan bicara lain.

“Kenyataannya di bawah Jokowi saat ini, kenyataan di lapangan berbeda dengan janji dan pernyataan. Yang terjadi sekarang semacam “siapapun boleh bicara Papua asal tidak merusak reputasi Indonesia” kata Usman.

Pada 10 Mei 2015 lalu dalam wawancara dengan Al Jazeera, Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa dirinya sudah memerintahkan kepada semua pihak di Papua, termasuk militer, polisi untuk membuka akses terhadap jurnalis asing, termasuk menghapus prosedur khusus atau ‘clearing house’ (mekanisme pengecekan permohonan liputan wartawan asing). 

Dibatasi atas permintaan KODAM

Usman mencatat ada beberapa pembatasan yang memukul mundur kebebasan berekspresi di Papua. Hal itu berwujud dalam pembatasan mengakses (media), pembatasan konten, bloking dan manipulasi.

“Pembatasan konten itu sebagai metode untuk menetralisir aktivitas sosial media yang dianggap berbahaya bagi negara. Pemblokiran website terjadi sejak SBY, ada empat (situs) di era beliau dan ditambah sekitar sepuluh (situs) yang terakhir ini (era Joko Widodo). Bahkan terakhir mulai berkembang kelompok-kelompok yang dipercaya ‘buatan militer/intelejen’ yang melakukan cyber bully terhadap aktivitas daring (pro penentuan nasib sendiri) itu,” ungkapnya.

Setelah berupaya keras, Usman mengaku berhasil membicarakan persoalan tersebut dengan pihak Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) hingga akhirnya mereka mengakui bahwa pemblokran tersebut atas permintaan militer Indonesia.

“Dalam hal ini adalah KODAM di Papua. Jadi memang tidak melalui pengadilan, atau melalui mekanisme yang sesuai hukum lainnya untuk menjustifikasi pemblokiran itu. Jadi terserah ahli hukum bagaimana membaca ini,” kata Usman.

Khusus terkait pembatasan terhadap portal berita Papua suarapapua.com, Usman melihat hal itu bermuatan politis, “kunjungan paling banyak ke website itu adalah dari Kementerian Pertahanan, artinya mereka melakukan pengawasan terhadap website tersebut secara konstan,” kata Usman lagi.

Tekanan internasional

Meski dibatasi sedemikian rupa di dalam negeri, ekspresi dan pemberitaan terkait isu-isu penentuan nasib sendiri dan pelanggaran HAM di Papua justru semakin meningkat dengan kreatif di media-media asing.

David Robie Direktur Pacific Media Centre (PMC) dan pengajar universitas di Auckland, Selandia Baru pada acara diskusi publik Papua Side Event tersebut menampilkan beberapa kampanye artisitik yang kreatif melalui media daring dan sosial media terkait isu West Papua .

“Kampanye kreatif terkait West Papua dilakukan oleh diaspora (orang-orang Papua yang bermukim di luar negeri) dan solidaritas di Pasifik. Artinya banyak sekali informasi yang masuk ke publik di luar negeri,” kata jurnalis yang telah malang melintang selama lebih dari 40 tahun itu.

Dia mencontohkan satu portal berita RNZ Internasional yang telah melaporkan secara rutin menyangkut isu-isu di Papua.

Johnny Blades, seorang jurnalis RNZI, seperti dikatakan Viktor Mambor, pendiri tabloidjubi.com, sempat datang ke Papua walau oleh pemerintah hanya diijinkan untuk meliput pembangunan di Papua. Blades kemudian ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak mengkonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya.

Sebelumnya petisi bertajuk “Help to end the genocide in West Papua” melalui medium avaaz yang telah mendulang puluhan ribu dukungan tandatangan juga diblokir di provider Indonesia dua hari setelah diluncurkan 24 Januari 2017.

Akibat pembatasan akses tersebut, tekanan internasional justru semakin meningkat. Reporters Without Borders (RSF) pada Selasa (2/5) mengecam sikap ‘dua muka’ pemerintah Indonesia yang di satu sisi menjadi tuan rumah WFPD 2017, namun di sisi lain melanjutkan pelanggaran hak-hak kebebasan jurnalis di Papua.

Kecaman RSF itu terkait peristiwa pemukulan terhadap wartawan Jubi, Yance Wenda oleh Kepolisian Resort Jayapura, 1 Mei lalu. 


“Kami dengan tegas mengutuk kekerasan polisi terhadao Yance Wenda, dan kami serukan investigasi terhadap pelaku dan atasannya yang turut mendorong brutalitas tersebut, dan membawa kasus ini ke pengadilan,” ujar Benjamin Ismaïl, kepala RSF Asia- Pacifik.

Dia juga meminta UNESCO dan seluruh figur-figur politik yang berkumpul di Jakarta untuk mengecam kekerasan tersebut dan, “meminta Presiden Joko Widodo berhenti bermain ‘dua muka’ dengan mendukung kebebasan media di komunitas internasional namun terus menghantam kebebasan di West Papua,” tegas Benjamin.


Dilansir Jakarta Post pada 2 Mei 2017, Ketua Dewan Pers Yosep "Stanley" Adi Prasetyo mengonfirmasi bahwa isu Papua tidak dimasukkan dalam pertemuan World Press Freedom Day (WPFD) yang sedang berlangsung di Jakarta saat ini. Dia menyebutkan isu-isu Papua adalah “urusan dalam negeri”.

“Ini forum internasional. Yang kami diskusikan adalah hubungan antara indonesia dengan isu-isu internasional,” kata Yosep.(*)


Posted by: Zely Ariane
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

0 komentar

Posting Komentar