Ketua AJI Indonesia, Suwarjono - AJI Jayapura (Eveerth). |
Jayapura -- Dua hari menjelang Hari Kemerdekaan Pers Dunia, 3 Mei, kekerasan kembali dialami jurnalis di Papua, Yance Wenda -- jurnalis Koran Jubi dan tabloidjubi.com.
Yance dipukuli oknum polisi hingga terluka, Senin (1/5/2017) di Sentani, Kabupaten Jayapura, saat meliput penangkapan para aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang berdemo untuk memperingati 1 Mei--yang disebutnya hari aneksasi Papua oleh Indonesia.
Ketika akan mengeluarkan surat tugas dari dalam tasnya, seorang anggota polisi lain datang merampas tas Yance. Beberapa anggota polisi kemudian menarik dia ke Polres sambil menendang dan memukulnya.
“Pelipis saya luka, mata bengkak, kepala benjol, di belakang ada dua bekas pukulan rotan, di bahu juga bekas tentangan sepatu, bibir atas dan bibir bawa saya pecah gara-gara dipukul dan ditendang dan dipukul rotan,” kata Yance.
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Arfi Bambani dalam keterangan pers yang diterima Jubi di Jayapura, Papua, Kamis (4/5/2017) menyebutkan, kasus itu merupakan kekerasan terhadap jurnalis kedua yang terjadi di Papua sepanjang pekan ini.
“Pada 28 April lalu, tiga wartawan televisi dari Metro TV, Jaya TV, dan TVRI diintimidasi saat meliput sidang lanjutan pidana Pilkada Kabupaten Tolikara di Pengadilan Negeri (PN) Wamena pada 28 April 2017. Seusai mengambil gambar, ketiganya berkumpul di salah satu ruangan di PN Wamena. Tiba-tiba sekitar 20 orang pengunjung sidang mendatangi mereka, dan menginterogasi ketiga jurnalis tersebut, serta mempertanyakan peliputan ketiganya. Mereka pun mengancam bahkan memaki Ricardo dan kedua rekannya, serta memaksa ketiganya menghapus video hasil liputannya. Ironis, polisi yang mengetahui peristiwa itu tidak berupaya melindungi ketiga jurnalis itu,” katanya.
Pembatasan akses
Dua kasus kekerasan dalam sepekan itu menegaskan bahwa jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah sesuatu yang langka di Papua.
Kekerasan terhadap jurnalis di Papua terus terjadi, menegaskan buruknya kemerdekaan pers di Papua, digenapi praktik sensor yang dilakukan dengan memblokir sejumlah situs berita Papua yang kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat terkait persoalan Papua.
“Seluruh situasi buruk itu seolah disempurnakan situasi Papua sebagai “daerah terlarang” yang harus bebas dari peliputan jurnalis asing,” katanya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mencatat, sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016, hanya ada 15 jurnalis asing yang diizinkan masuk ke Papua. tabloidjubi.com menulis, jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades mengaku membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua.
“Meski memiliki visa peliputan, di Papua Blades ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak mengkonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya. Jurnalis Radio France, Marie Dumieres, juga dicari-cari polisi saat melakukan liputan di Papua,” kata pimpinan umum Koran Jubi dan tabloidjubi.com, Victor Mambor.
Maret tahun ini Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp dideportasi. Tak lama berselang, penulis lepas Al Jazeera, Jack Hewson, ketika hendak meninggalkan Indonesia diberi tahu bahwa dirinya tidak akan bisa masuk ke Tanah Air. Padahal ketika itu Hewson mengatakan dirinya saat itu sedang dalam proses pengajuan permohonan izin peliputan di Papua. Pernyataan Presiden RI Joko Widodo bahwa Papua terbuka bagi peliputan jurnalis asing jauh panggang dari api.
72 kasus kekerasan
Papua jelas merupakan salah satu wilayah terburuk dalam penegakan Undang-Undang Pers, maupun jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis. Namun, di wilayah lain di Indonesia, kekerasan terhadap jurnalis juga terus terjadi.
Berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia, sepanjang Mei 2016 hingga April 2017 telah terjadi 72 kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis yang menjalankan profesinya. Kasus kekerasan itu bahkan didominasi bentuk kekerasan fisik, yang mencapai 38 kasus. Pengusiran dan/atau pelarangan liputan juga masih marak, dengan temuan sebanyak 14 kasus.
Data yang dihimpun AJI Indonesia juga menunjukkan seriusnya persoalan kekerasan itu. Di antara 72 kasus itu, terdapat sembilan kasus kekerasan yang dengan sengaja dilakukan untuk merampas atau merusak data, foto, rekaman video yang diperoleh jurnalis di lapangan. Selain itu, terdapat dua kasus pemidanaan atau kriminalisasi, termasuk kasus pelaporan situs berita tirto.id oleh Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Perindo, Christophorus Taufik. Kasus itu ironis, mengingat DPP Perindo adalah partai dipimpin oleh Harry Tanoe, seorang taipan media, pemilik sejumlah stasiun televisi nasional, sejumlah radio, dan koran.
AJI Indonesia juga mencatat masih maraknya ancaman dan teror serius kepada jurnalis (tujuh kasus). Selain itu, terdapat dua kasus intimidasi secara lisan, termasuk di antaranya intimidasi lisan oleh seorang ketua DPRD.
AJI Indonesia menyoroti semakin seringnya warga negara biasa menjadi aktor dominan dalam kasus kekerasan. Dari 72 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang Mei 2016 hingga April 2017, sejumlah 21 kasus diantaranya dilakukan oleh warga. Aktor pelaku lainnya termasuk kader partai politik/politisi/dan anggota parlemen (tujuh kasus), Satuan Polisi Pamong Praja dan aparatus pemerintah daerah lainnya (enam kasus), pejabat pemerintah pengambil kebijakan (empat kasus), bahkan profesi hukum seperti advokat (satu kasus), hakim (satu kasus) pun menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Menahunnya Impunitas
AJI Indonesia menyatakan, munculnya para aktor baru pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh warga atau orang kebanyakan, adalah buah dari pembiaran berbagai kasus kekerasan di masa lalu.
AJI Indonesia juga menyoroti, bagaimana Kepolisian Republik Indonesia sebagai aparat yang seharusnya menegakkan perlindungan hukum kepada jurnalis justru menjadi salah satu pelaku dominan (sembilan kasus). TNI selaku aparat militer juga menjadi salah satu aktor dominan pelaku kekerasan (tujuh kasus).
Praktik impunitas terus berjalan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan polisi atau tentara sebagai pelakunya. Penyerangan sejumlah prajurit TNI Angkatan Udara Lanud Soewondo, Medan, yang terjadi pada 15 Agustus 2016 adalah contoh bagaimana aparat hukum bekerja dengan lambat, cenderung memacetkan proses hukum, membuat para pelaku kekerasan itu bebas dari hukuman.
Polisi juga terus menjalankan praktik impunitas dalam kasus kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah. Kasus kekerasan Ghinan Salman (24), wartawan Radar Madura Biro Bangkalan yang dipukuli sejumlah pegawai Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Bangkalan, 20 September 2016, adalah contoh lambatnya proses hukum terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Praktik-praktik impunitas itulah yang membuat warga negara semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi. Abainya warga negara terhadap jaminan perlindungan hukum profesi jurnalis membuat munculnya aktor-aktor pelaku kekerasan yang baru, sebagaimana terlihat dari data kekerasan yang terjadi sepanjang Mei 2016 – 2017.
Impunitas pula yang membuat sebaran kasus kekerasan terhadap jurnalis semakin meluas. Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu lokasi dengan kasus kekerasan terbanyak (11 kasus), diikuti Provinsi Jawa Timur (delapan kasus) dan Provinsi Sumatera Utara (tujuh kasus).
AJI Indonesia melihat kemedekaan pers Indonesia semakin terancam, yang pada akhirnya mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia. AJI Indonesia menyatakan:
Pertama, polisi menjadi musuh utama kebebasan pers Indonesia tahun 2017, dengan para personilnya yang terus terlibat berbagai kasus kekerasan di Indonesia, dan terus menjalankan praktik impunitas yang membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis bebas dari pertanggungjawaban hukum;
Kedua, tegakkan kembali jaminan perlindungan hukum bagi profesi jurnalis sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di seluruh Indonesia, khususnya di Papua, dengan menghentikan praktik kekerasan, intimidasi, pembatasan dan pelarangan liputan, maupun sensor seperti pemblokiran sejumlah situs berita di Papua;
Ketiga, buka askses peliputan jurnalis asing di Papua, dengan memastikan setiap jurnalis asing diberi kebebasan untuk meliput secara obyektif berbagai dimensi kehidupan di Papua, agar dunia internasional mendapatkan gambaran utuh tentang situasi politik, ekonomi, maupun sosial budaya orang asli Papua;
Keempat, setiap aparat penegak hukum, baik itu Kepolisian Republik Indonesia maupun Polisi Militer Tentara Nasional harus segera menghentikan praktik-praktik impunitas, termasuk dengan menjalankan seluruh proses hukum atas kasus kekerasan terhadap jurnalis, khususnya kasus kekerasan jurnalis di Papua, Medan, dan Bangkalan;
Ketilam, mengajak setiap warga negara untuk bersama-sama mengawal kemerdekaan pers, kemerdekaan berekspresi, dan melindungi profesi jurnalis, demi menjamin kehidupan berbangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi penghormatan kepada kemanusiaan serta hak asasi setiap warga negara Indonesia. (*)
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
0 komentar
Posting Komentar