Penulis (ujung kiri) saat bertemu para pemimpin FLNKS dan menyerahkan dokumen dukungan kepada Ketua FLNKS, Victor Tutugoro. |
"Haii, Merci beaucoup." Aku hanya menatap wajahmu. Haii...You Wantok Melanesia? Aku pun diam menatapmu. Haii..your from, tanyamu lagi untuk yang ketiga kalinya? Aku tetap menatap wajah dan mata birumu. Engkau heran dan terus terheran-heran menyaksikan reaksiku.
Demikian petikan dialog singkat sesama anak Melanesia --West Papua dan Kanaky -- di Bandara Internasional Noumea, Jumat (6/11/2018).Engkau terus bertanya dan mengikuti jejak langkahku. Engkau tentu penasaran siapakah diriku ini? Mari ikutlah aku. Lihat ini tanah Kanak, ini tanahku. Tanah Anda dan Tanah kita. Singkat jawabku. Engkau kaget, gugup. Kini engkau pun diam membisu menatapku. Bro, jangan tanya aku lagi, 2020, kita akan jumpa di sini, di tanah bangsa Kanak, Melanesia."
Kolonialisme di tanah dan bangsa Kanak dimulai ketika Prancis menguasai Bumi Besar, yang oleh James Cook dinamakan "Kaledonia Baru". Pada 24 September 1853, ia mengambil alih wilayah di bawah kondisi hukum internasional, yang kemudian diakui oleh negara-negara Eropa dan Prancis.
(Lihat ini: Mulai Besok Kanaky Referendum, ULMWP Berdiri dalam Solidaritas dengan New Caledonia)
Mereka tidak membangun hubungan hukum dengan penduduk pribumi. Perjanjian yang disahkan pada tahun 1854 dan tahun-tahun berikutnya dengan otoritas adat tidak ada kesepakatan yang seimbang, tetapi tindakan sepihak demi kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.
Tanah dan pulau-pulau ini dihuni oleh pria dan wanita yang disebut Kanak. Mereka telah mengembangkan peradaban yang tepat, dengan tradisi, bahasa, dan kebiasaan yang mengatur bidang sosial dan politik.
Budaya dan imajinasi mereka diekspresikan dalam berbagai bentuk penciptaan. Identitas Kanak didasarkan pada koneksi khusus ke tanah. Setiap individu dan klan didefinisikan oleh hubungan khusus dengan lembah, bukit, laut, sungai, dan menyimpan memori penerimaan keluarga lain.
Nama-nama yang diberikan tradisi untuk setiap elemen suku menandai beberapa dari mereka, ruang dan pertukaran terstruktur jalur adat. Namun Prancis mengubahnya seakan tanah ini kosong.
(Baca ini: Referendum Kanaky 4 November 2018, Opsi Merdeka: 43,60% - Opsi tidak: 56,40%)
Kolonisasi Kaledonia Baru adalah bagian dari gerakan sejarah yang luas di mana negara-negara Eropa telah memaksakan dominasinya di seluruh dunia tanpa terkecuali.
Pria dan wanita, dari Negara Prancis datang dalam jumlah besar, pada abad ke-19 dan 20. Ketika itu para pemilik tanah ini yakin Prancis datang membawa kemajuan, didorong oleh iman agama, kemudian menentang kehendak mereka atau mencari kesempatan kedua di Kaledonia Baru.
Dari waktu ke waktu Prancis menetap dan menjadi tuan atas rakyat bangsa Kanak. Membawa cita-cita, pengetahuan, harapan, ambisi, ilusi, dan kontradiksi dengan rakyat bangsa Kanak.
Banyak warga Prancis berprofesi sebagai antropolog, sosiolog, arkelog, budayawan, imam atau pendeta, dokter, insinyur, administrator, militer, dan politisi. Bangsa Kanaky dilihat dengan pandangan berbeda, ditandai dengan pemahaman yang lebih besar yang dibahasakan dengan dengan "kasih sayang sejati."
Dua abad masih di Kanaky
Hampir 200 tahun Prancis masih di sini, di tanah bangsa Kanaky. Dari waktu ke waktu, rakyat Melanesia di Kanaky terus tersingkir dari tanahnya.Hubungan rakyat di Kaledonia Baru dengan kota metropolis dari Eropa yang jauh telah lama ditandai oleh ketergantungan kolonial, sebuah hubungan yang tegas, penolakan untuk mengenali kekhususan yang populasi barunya juga telah menderita dalam aspirasi mereka.
Momen telah datang untuk mengenali bayang-bayang periode kolonial, bahkan jika itu tidak tanpa cahaya. Kejutan kolonisasi adalah trauma abadi untuk rakyat bangsa Kanaky.
Klan telah dicabut dari nama mereka bersama dengan tanahnya. Pemukiman tanah yang besar telah mengakibatkan perpindahan populasi yang cukup besar, di mana klan Kanak telah melihat mata pencaharian mereka berkurang dan tempat mereka kehilangan memori. Pencabutan ini menyebabkan hilangnya referensi identitas.
Organisasi sosial Kanak, meskipun diakui dalam prinsipnya, sangat mengecewakan. Pergerakan penduduk tidak terstruktur, ketidaktahuan atau strategi kekuasaan telah terlalu sering menyebabkan penolakan otoritas yang sah dan pembentukan otoritas tanpa legitimasi adat, yang telah memperjelas trauma identitas. Pada saat yang sama seni bangsa Kanak ditolak dan dijarah.
Penyangkalan terhadap elemen-elemen fundamental dari identitas Kanak ditambahkan pembatasan kebebasan publik dan kurangnya hak politik, meskipun rakyat bangsa Kanak telah membayar penghargaan berat untuk membela Prancis, terutama selama Perang Dunia Pertama. Sayang, nyawa dan jasa besar rakyat Kanaky dibalas secara tidak adil.
Bangsa Kanak didorong kepada marjinalisasi secara geografis dan kebijakan ekonomi oleh kebijakan pemerintah di atas tanah air mereka.
Kolonisasi menggerogoti martabat orang Kanak dan merampas identitas mereka. Pria dan wanita kehilangan nyawa atau alasan mereka untuk hidup dalam konfrontasi ini. Penderitaan hebat telah terjadi. Ini memori masa-masa sulit, untuk mengenali kesalahan, mengembalikan ke identitas Kanak yang disita, setara dengan dia dalam pengakuan kedaulatan, sebelum berdirinya kedaulatan baru sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di atas Tanah Moyang Kanaky.
Referendum demi referendum bagi bangsa Kanaky
Jika mereka benar-benar sadar siapa sesungguhnya diri mereka, dengan kebenaran iman pada Kristus yang dibawakan kepada rakyat bangsa Kanaky, Prancis tidak perlu menawarkan referendum kepada rakyat bangsa Kanaky pada 1987, 1998, 2018, 2020, dan 2022. Sebab itu hanya sebuah strategi untuk memperpanjang kekuasaannya di tanah Kanaky.Sebaliknya, jikalau referendum adalah sebuh metode demokratis, mereka mesti benar-benar sadar bahwa dalam refrendum 2018, hampir semua rakyat bangsa Kanaky telah memilih untuk keluar dari Prancis dan berdaulat penuh. Hal inilah yang mestinya menjadi ukuran demokrasi dalam referendum di New Caledonia.
Hasil referendum 2018 berbeda dengan referendum 13 Sept 1987--dari 50.520 pemilih (59,10% populasi penduduk) hanya 1,70% memilih merdeka, sedangkan 98,30% memilih untuk tetap bergabung dengan Republik Prancis.
Saat referendum 4 November 2018, 56,4% memilih tetap bergabung dengan Prancis dan 43,60% memilih merdeka penuh.
Secara keseluruhan jumlah pemilih terdaftar sebanyak 174.995 jiwa. Dari jumlah tersebut, pemilih sebanyak 141.099 suara, sedangkan jumlah yang memberikan hak suara 138.934, abstain (tidak memilih) 17.965 suara. Hasil akhir, mereka yang memilih keluar dan merdeka 60.573 suara (43,60%) sedangkan pro-Prancis 78.361 suara (56,40%).
(Baca ini: Ibrahim Peyon: 6 Hal Ini Penyebab Kekalahan Kaum Pro Referendum Kemerdekaan Kanaky)
New Caledonia memiliki tiga provinsi yakni Provinsi Nord (Utara), Provinsi Iles (Kepulauan) dan Provinsi Sud (Selatan). Provinsi Utara dan Iles dihuni rakyat bangsa Kanaky, Melanesia, dan Oceania, yang mayoritas memilih keluar dan merdeka (Pro FLNKS), sedangkan Provinsi Selatan yang mayoritas penduduk Prancis (Eropa) dan Asia memilih tetap bergabung dengan Prancis.
Hasil pemilihan di tiga provinsi itu adalah sebagai berikut;
Provinsi UtaraJumlah yang terdaftar 40.047 suara kemudian 34.445 pemilih dan 33.956 yang telah memberikan suara dengan perolehan akhir, keluar dan merdeka (FLNKS) 25.747 suara atau 75,82% dan pro Prancis 8.209 suara atau 24,18%. Secara keseluruhan partisipasi di Porovinsi Utara ialah 86,01%;
Provinsi Kepulauan
Jumlah pemilih yang terdaftar, 22.236 orang dan 13.095 pemilih kemudian yang memberikan suara 12.936 orang. Hasilnya yang memilih keluar dan merdeka (FLNKS): 10.095 suara atau 82% dan pro Prancis 2.305 suara atau 17,82%. Partisipasi rakyat 58,89%;
Provinsi Selatan
Jumlah terdaftar 112.712 suara, pemilih 93.559 suara dan yang memberikan suara 92.042 pemilih. Hasil akhir pro Prancis 67.847 pemilih atau 73,71% dan keluar dan merdeka (FLNKS), 24.195 pemilih atau 26,29%. Total partisipasi rakyat, 83,01%.
Dilihat dari jumlah partisipasi pemilih orang asli Kanaky termasuk Melanesia dan Oceania (Polinesia dan Micronesia) sebagaimana diungkapkan di atas lebih memilih untuk keluar dan merdeka penuh sebagai sebuah negara berdaulat.
Kendatipun diselimuti perasaan mengecewakan dengan melihat hasil akhir referendum 2018, bagi FLNKS sebagai front yang memperjuangkan keluar dari Prancis dan merdeka penuh tetap mempunyai harapan bahwa rakyat yang selama ini diwakilinya ingin merdeka dan berdaulat penuh. Perjuangan mereka tidak berakhir pada 2018, tetapi akan terus berjuang di tahun-tahun mendatang.
Rakyat Bangsa Kanaky: terus berjuang hingga menang!
Pada 5 November 2018, pukul 14.30-15.30 waktu Kanaky, saya diterima di Kantor Kongres FLNKS oleh Pemimpin (Presiden) dan petinggi FLNKS. Dalam pertemuan ini terungkap bahwa pemimpin FLNKS menilai hasil yang dicapai dalam referendum 2018 merupakan hasil yang luar biasa dibandingkan hasil referendum pada September 1987.Hasil referendum 2018 juga telah membuktikan keinginan rakyat bangsa Kanaky (Melanesia) yang merindukan kemerdekaan penuh. Sebab sebagaimana telah diungkap tadi, bahwa hampir semua rakyat bangsa Kanaky memilih merdeka/FLNKS. Oleh karena itu, referendum 2018 bagi FLNKS memberikan hasil yang positif dimana mematahkan keraguan pihak luar dan internal orang Kanaky.
Baca terkait West Papua (ULMWP) berikut ini:
- Mau Melompat, Tetapi Belum Yakin Akan Sampai ke Sebelah atau Tidak?
- “Papua Merdeka” antara Makna, Visi, Tujuan dan Cara bangsa Papua Merubah Nasibnya
Dalam pertemuan ULMWP dengan FLNKS, pimpinan tertinggi FLNKS menegaskan bahwa "FLNKS akan kerja keras untuk memenangkan referendum 2020.” Kunci kemenangannya ialah tetap menjaga persatuan, kebersamaan, dan konsolidasi. Pada 2019-2020 waktunya kerja konsolidasi. Demikian terungkan dalam pembicaraan kami di Kantor Kongres FLNKS di Noumea New Kaledonia.
Pada kesempatan bersejarah tersebut, ULMWP menegaskan kembali komitmen dan dukungannya kepada FLNKS bahwa "ULMWP bersama rakyat bangsa Papua terus bersama rakyat bangsa Kanaky/FLNKS untuk menentukan masa depanya sendiri."
Demam referendum Bumi Melanesia: West Papua?
Mulai November 2018 hingga November 2020 kita telah dan akan menyaksikan referendum di wilayah Melanesia. Tiga wilayah Melanesia yang sedang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri ialah New Caledonia, Bougenvil, dan West Papua. Peristiwa penting dan bersejarah itu dimulai 4 November 2018, referendum di New Caledonia, dan Juni 2019 referendum di Bougenvil, dan referendum ulang tahun 2020 di New Caledonia.Referendum di dua wilayah Melanesia--Kaledonia Baru dan Bougenvil--menjadi momentum strategis dan bersejarah. Sebab pada saat yang sama, masyarakat internasional mulai menaruh perhatian penuh di wilayah Melanesia. Kini kembali kembali kepada kita, bagaimana menggunakan momentum tiga tahun ke depan digunakan secara strategis oleh pemimpin ULMWP, untuk mewujudkan hak penentuan nasib sendiri di West Papua.
(Baca ini: 3 Hal Yang Menentukan Referendum Kanaky 4 November 2018 Bisa Terlaksana)
Merci Beaucoup: Kanaky, West Papua, Melanesia. Dieu Bénisse! Sampai Jumpa, 2020 di Kanaky. Pasti engkau bebas, Merci Beaucoup France. Air Vanuatu, telah tiba. Kembali ke Vila, minum kava, bersama keluarga, West Papua, Melanesia. Waaa...waa..waaa.. (*)
Penulis adalah Kepala Kantor Koordinasi ULMWP di West Papua
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
0 komentar
Posting Komentar