Selasa, 13 November 2018

Pengungsian Orang Papua, 1960, 1969, 1977 dan April 1984

Pengungsian Orang Papua, 1960, 1969, 1977 dan April 1984
Suaka politik Black Brother menetap di Australia dan Vanuatu.
Jayapura -- Peralihan Irian Baarat ( Papua Barat) di era 1960 an saat pergantian pemerintahan dari UNTEA ke Pemerintah Indonesia, 1 Mei 1963. Saat itu, tercatat puluhan mahasiswa Papua sedang studi kedokteran di Port Moresby dengan bantuan bea siswa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mengurungkan niat mereka kembali ke Irian Barat. Terpaksa pemerintah New Guinea Australia melanjutkan pembiayaan pendidikan mereka hingga menjadi dokter spesialis dan profesor di Papua New Guinea.

Begitupula mahasiswa yang belajar telekomunikasi di Lae, kota industri terbesar di PNG tak berniat kembali. Termasuk mahasiswa kedokteran gigi di Universitas South Pasific di Suva, Fiji. Inilah pengungsian pertama kaum terpelajar dan terdidik orang-orang Papua di Pasifik Selatan.

Selanjutnya ratusan pengungsi lain memilih negeri Belanda, keluarga Markus Kaisiepo, Nicolas Youwe yang akhirnya kembali ke Indonesia setelah memasuki usia senja, dan masih banyak lagi orang Papua tinggal di negeri Belanda dan berharap ada perubahan pada Pepera 1969. Viktor Kaisiepo dalam bukunya berjudul Satu Perspektif untuk Papua, Cerita kehidupan dan perjuanganku menulis dari sekolah dengan celana pendek begitu saja ke pesawat pada Oktober 1962. Tak lama kemudian sekitar seratus keluarga ke Belanda.”Semua orang itu harus pergi demi keamanan mereka sendiri, mereka diangkut dengan kapal-kapal. Kami satu-satunya yang dipaksa pergi dengan dekrit,”kata mendiang Viktor Kaisiepo putra kandung Markus Kaisiepo.

Tinggallah masyarakat Papua sejak 1963 sampai dengan 1969, berharap ada perubahan saat referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Ternyata referendum yang terjadi tak memberikan harapan. Di mana sebanyak 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera(DMP) yang mewakili 815.904 penduduk Irian Barat memilih bergabung dengan pemerintah Indonesia. Walau demikian pelaksanaan Pepera sampai sekarang masih menjadi perdebatan soal demokratis atau tidak dalam penentuan pendapat rakyat.

Sejak itu pula, Zonggonao, Nick Meset, Mozes Werror dan ribuan penduduk asli Papua melintasi perbatasan Papua New Guinea (PNG) dan menjadi warga negara di sana. Hampir sebagian besar orang Papua di PNG hidup sukses dan mendapat bea siswa pendidikan. Belakangan Nick Meset dan Frans Albert Yoku kembali menjadi warga negara Indonesia dan meminta agar generasi muda Papua jangan bermimpi untuk merdeka.

(Simak ini: Penyelenggaraan PEPERA Tahun 1969 di Papua dan Keputusannya)

Waktu terus berjalan dan orang-orang Papua mulai masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah pelaksanaan Pepera 1969. Bersamaan dengan itu pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dicanangkan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Orang Papua pertama kali mengikuti Pemilihan Umum pada 1971 dan selanjutnya pelaksanaan Pemilu 1977 dengan peristiwa gejolak sosial di seluruh pegunungan tengah Papua.

Peristiwa Kobagma sekarang ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah menjadi titik awal penyerangan terhadap Yon Armed 10 Kostrad. Peristiwa ini berawal dari pertandingan sepak bola antara masyarakat setempat melawan kesebelasan Yon Armed. Saat itupula masyarakat menyerang kesebelasan Yon Armed sehingga satu anggota tewas dan dua luka parah.(Pergolakan di Perbatasan Operasi Pembebasan Sandera tanpa Pertumpahan Darah, Mayjend (Purn) Samsudin).

Sejak peristiwa Kobagma, pecah pula peristiwa di Timika, Mamberamo dan perbatasan PNG terjadi operasi besar-besaran, Pengiriman dua pesawat tempur jenis OV 10 dan pesawat helikopter jenis BO 105. Saat itu pula banyak terjadi pengungsian besar-besaran ke PNG dan warga Amungme berjalan kaki selama tiga bulan dari Akimunga ke Ok Tedi Mining PNG pada 1977. Saat itu pula muncul Kelly Kwalik di Timika, Zeth Rumkorem, Marthin Tabu dan Yacob Pray dalam pergolakan bersenjata di Papua.

(Baca ini: ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua)

Sejak itupula bangkit Grup Mambesak dan Black Brothers di tengah kehidupan masyarakat Papua, Mambesak mampu mempersatukan manusia dan budaya Papua di seluruh tanah Papua. Kebangkitan identitas kebudayaan menjadi kekuatan utama dalam melawan ketidak adilan dan kekerasan militer di Tanah Papua.

Tujuh tahun berikutnya 1984, seniman dan budayawan Papua Arnold Clemens Ap dan Eduard Mofu tewas secara mengenaskan di Pasir Enam Kota Jayapura. Majalah Tempo edisi 9 Juni 1984 mencatat sebanyak 7000 pengungsi Indonesia ada di Papua New Guinea. Mereka tinggal di sepanjang perbatasan dari Vanimo, Bewani, Kamberatoro, Mamamura, Green River, Komopkhin, Bankim, Kungim dan Athamba.

Tempo menulis, bagi pemerintah PNG saat itu kehadiran 7000 warga Indonesia di wilayah PNG terasa sebagai beban yang berat. Masalah dana memang memusingkan, tetapi tidak terlalu mutlak karena di samping uang dari pemerintah PNG, ada sumbangan dati pemerintah Indonesia, Gereja Katolik, Komisi Tinggi PBB untuk masalah Pengungsi (UNHCR) dan berbagai organisasi sosial lainnya.

(Baca ini: Kronologi Papua 1960 -1969: Ketika Hak-hak Politik Bangsa Papua Diberangus)

Kini masalah Papua terdengar dan mulai diangkat oleh saudara-saudara Melanesian Spearhead Group terutama nasib orang-orang Papua di perantauan. Sampai seberapa jauh hidup mereka di pengasingan sementara di Papua sendiri orang asli Papua semakin tersisih dan kini sudah menjadi minoritas. Hanya waktu jualah yang berbicara. (*)


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

0 komentar

Posting Komentar