Kamis, 21 September 2017

Nasibnya Telah Tercoreng Di Dahinya

Murkanya Bung Karno Atas Keputusan Muktamar Alim-Ulama 1957 di Palembang Yang Mengharamkan Ajaran Komunis dan PKI di Indonesia

Murkanya Bung Karno Atas Keputusan Muktamar Alim-Ulama 1957 di Palembang Yang Mengharamkan Ajaran Komunis dan PKI di Indonesia

Tulisan Ulama Besar BUYA HAMKA Untuk Menyegarkan Kembali Ingatan Kita Menyambut Tahun Baru 1439 Hijriah.

Mari kita segarkan kembali ingatan kita bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan.  Belum tentu yang benar itu tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya.  Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.

Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957.  Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.

Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia.

Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi. semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).

Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang.  “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden.

Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.

Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.

Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :

1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya

2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.

3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.

Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu.  Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan.

Karena resolusi yang demikian itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).

Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya.

Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi.

Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil.  Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno.  Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.

Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia.

Dan ulama yang dipandang kontra revolusi dan yang telah memutuskan komunis sebagai "paham kafir" sebagai pihak yang harus diperangi dan dihina dan setiap pidato dan setiap tulisan.  Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.

Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.

Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia.  Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya.  Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulamanya itu hampir sepuluh tahun lalu.

Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :

“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.

Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang  mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno?  Insya Allah para alim-ulama kita sudah dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka.

Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan. Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.

Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.

Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.

Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya.  Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petika bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah kurang dari 10 tahun yang lalu.

(Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)

[http://ift.tt/2dG9IYK, Disalin dari status yang di share oleh ustadz aris munandar, sumber  via: Pracoyo Wiryoutomo, artikel disini http://ift.tt/2wJNuJj]

0 komentar

Posting Komentar