Sabtu, 06 Mei 2017

Berjaulah, Menjajakan Ajaran Salah


Oleh Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Sepintas, prinsip pertama ajaran Jama’ah Tabligh –atau dikenal juga Jama’ah Khuruj atau Jama’ah Jaulah- tampak seperti ajaran tauhid. Betapa tidak, sebab mereka mencantumkan judul prinsip tersebut dengan bunyi kalimat thayyibah. Tidak ada lain makna kalimat thayyibah tersebut, kecuali kalimat tauhid. Yaitu kalimat laa ilaaha illallah.

Dan memang benar, yang mereka memaksudkannya sebagai kalimah tauhid, kalimat laa ilaaha illallah. Namun benarkah ajaran tauhid Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mereka maksudkan?

Terlebih jika melihat lima prinsip berikutnya, maka seolah-olah akan terasa betapa bagus prinsip ajaran jama’ah Tabligh ini. Di sana ada prinsip shalat lima waktu, ada prinsip ilmu dan dzikir, ada prinsip memuliakan tamu, ada prinsip ikhlas dalam berniat dan ada prinsip bertabligh (menyampaikan dakwah) secara bersama-sama dengan cara khuruj (keluar untuk berdakwah).

Syubhat penyimpangan yang terbungkus dalam kalimat-kalimat yang indah ini sebenarnya juga terlihat pada semua prinsip ajaran ahli bid’ah.

Bukankah lima prinsip ajaran Mu’tazilah –misalnya- juga terlihat seperti benar dan indah?

Lima prinsip ajaran mu’tazilah terdiri dari:
1. Tauhid. (Ternyata maksudnya adalah menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala)
2. Adil (ternyata maksudnya adalah mengingkari takdir Allah)
3. Al-Manzilah baina al-Manzilatain (satu keadaan di antara dua keadaan, maksudnya, pelaku dosa besar tidak mukmin, tetapi tidak kafir)
4. Berlangsungnya ancaman Allah. (Maksudnya pelaku dosa besar pasti disiksa di dalam neraka dan kekal di dalamnya)
5. Amar ma’ruf nahi mungkar. (Ternyata maksudnya, bolehnya melakukan pembangkangan/pemberontakan kepada penguasa muslim yang sah, hanya karena penguasa tersebut dianggap telah melakukan kezaliman).

Tanpa memahami maksud-maksud yang dikandung dalam prinsip-prinsip tersebut, orang akan tertipu dengan keindahan bahasanya.

Begitulah umumnya prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh setiap ahli bid’ah, termasuk jama’ah Jaulah. Bahasa luarnya indah dan seakan menawarkan kebenaran. Namun disebaliknya menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan.

Bagaimana dengan prinsip Kalimat Thayyibah dalam jama’ah Jaulah?

Dalam salah satu buku pegangan utama mereka, Fadha’il al-A’mal karya Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi yang di Indonesiakan menjadi ‘Himpunan Fadhilah Amal’, Bab II tentang ‘Kalimat Thayyibah’, dapat dibongkar rahasianya.

Ternyata uraian Kalimat Thayyibah yang dikemukakan secara panjang lebar hingga tiga pasal, hanya menerangkan tentang kalimat Laa Ilaaha Illallah menurut versi ajaran sufi. Tidak ditemukan sedikitpun ungkapan yang menjelaskan hakikat sebenarnya dari makna kalimat Thayyibah tersebut.
Yang ditemukan adalah prinsip ajaran kesufian mereka, yaitu ajakan dan dorongan untuk berdzikir secara lisan saja, mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah.

Tidak ditemukan uraian sedikitpun tentang bagaimana pengamalan sesungguhnya terhadap kalimat Laa ilaaha Illallah melainkan ajakan untuk tidak mencuri, berzina dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.

Tanpa menyentuh sedikitpun persoalan yang justeru sangat pokok. Yaitu keharusan menyingkiri thaghut dan mengingkari serta menjauhi penyembahan terhadap kuburan-kuburan, yang di India, Pakistan dan Indonesia banyak sekali dilakukan oleh sebagian besar kaum Muslimin. Kalaupun di sana disebutkan keharusan untuk bertauhid dan meningalkan syirik serta harus ikhlas beramal, penyebutan itu sangat global.

Padahal kalimat tauhid tersebut mengandung dua konsekuensi besar, pertama menghamba hanya kepada Allah saja. Kedua, menolak dan mengingkari segala bentuk peribadatan kepada thaghut, termasuk di dalamnya penyembahan terhadap kuburan para wali. Dua konsekuensi tauhid ini mewujud secara nyata dalam kata-kata, sikap dan perbuatan sehari-hari. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Taghut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia tela berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-Baqarah: 256]

Pada kenyataannya memang mereka tidak peduli dengan prinsip tauhid yang benar ini.

Syaikh Hamud bin Abdullah at-Tuwaijiri, dengan menukil perkataan Ustadz Saifur Rahman ad-Dahlawi, bahkan menegaskan bahwa jama’ah Tabligh menyelewengkan semua nash al-Qur’an dan Sunnah yang memerintahkan supaya mengingkari thaghut….Disebutkan bahwa di antara prinsip mereka adalah sangat menjauhi bahkan melarang secara kasar orang yang menyatakan pengingkaran terhadap thaghut dan pengingkaran terhadap kemungkaran. Alasan mereka, karena hal itu akan melahirkan penentangan dan tidak membawa kebaikan. [Lihat al-Qaul al-Baligh fi at-Tahdzir min Jama’ati at-Tabligh, Daar ash-Shumai’i. Hal. 154]

Dalam Kitab Fadhail al-A’mal justeru disebutkan tafsir sufi ketika mengetengahkan faidah dari hadits Abu Hurairah tentang orang yang paling berbahagia mendapat syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas dari dalam hatinya.

Penulis kitab Fadhail al-A’mal menjelaskan faidahnya, yaitu (hanya ditekankan pada) ¬pertama, orang yang dengan penuh keikhlasan telah masuk Islam dan sama sekali tidak memiliki amalan lain kecuali membaca kalimat thayyibah. Telah jelas bahwa ia akan beruntung karena memperoleh syafa’at di akhirat nanti…Kedua, orang-orang yang menjaga wirid mereka dengan penuh keikhlasan dan mereka beramal shalih. [Lihat Himpunan Fadhilah Al-Amal, hal. 457-458]

Bukankah itu adalah ajaran tarekat sesat?. Sama sekali tidak menyinggung bagaimana realisasi sebenarnya dari kalimat tauhid, yaitu memberikan segala macam peribadatan kepada Allah saja dan mengingkari penyembahan kepada selain Allah dengan cara apapun. Itulah sebabnya, di dalam tubuh jama’ah mereka terdapat kebebasan untuk memilih aqidah. Bisa Quburiyah, bisa Asy’ariyah, bisa mu’tazilah dan bisa yang lain-lainnya. Yang penting masing-masing anggauta bersedia melakukakan khuruj rutin dan memiliki loyalitas terhadap jama’ah. Tak peduli apa aqidahnya.

Sebenarnya bantahan terhadap prinsip-prinsip ajaran mereka sangat banyak. Namun kiranya cukuplah sekelumit bantahan terhadap prinsip pertama mereka saja. Sebab yang sekelumit itu sudah cukup membuka tabir rahasia kesalahan mereka yang mendasar. Jika dalam hal yang mendasar saja sudah salah, maka runtuhlah keseluruhan bangunan ajaran mereka. Termasuk ajaran khuruj yang merupakan manipulasi terhadap makna nash-nash al-Qur’an dan Sunnah serta amalan para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Khuruj merupakan kegiatan pokok yang sebenarnya hanya di dasarkan pada mimpi khayali dari imam mereka saja. Lihat pada tulisan pada bagian lain.

Adapun yang berkaitan dengan syubhat yang mereka lancarkan berkenaan dengan fatwa Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang katanya merekomendasi gerakan mereka, maka Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali telah menjelaskan duduk perkaranya secara jelas dalam rangka membantah dan menghilangkan syubhat mereka. Ini bisa dilihat dalam kumpulan fatwa para Ulama yang beliau kumpulkan seputar jama’ah tabligh.

Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali menjelaskan, ketika Syaikh Bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memuji gerakan jama’ah tabligh, adalah lantaran ada seorang anggauta jama’ah tabligh yang bertanya kepada beliau sambil menceritakan hal-hal yang kelihatannya baik-baik saja tentang jama’ah ini, sehingga tentu beliau memujinya. Tetapi pada fatwa paling akhir dari beliau menjelaskan persoalan yang sebenarnya. Intinya, tidak boleh khuruj bersama mereka kecuali orang yang berilmu dengan tujuan mengingkari kemungkaran mereka dan mengajari mereka jalan yang lurus. Jika untuk maksud mengikuti saja ajakan mereka maka tidak boleh. Sebab Jama’ah Tabligh yang berasal dari India ini memiliki beberapa khurafat, bid’ah dan kesyirikan.

Risalah Syaikh Rabi’ ini sudah di Indonesiakan dengan judul Fatwa Ulama seputar jama’ah tabligh. Diterbitkan oleh pustaka Al Haura’, Jogyakarta. Sayangnya risalah terjemahan ini ditutup dengan surat menyurat yang dilakukan antara Syaikh Sa’d al-Hushain dengan imam jama’ah Tabligh In’am al- Hasan, yang di akhiri dengan jawaban surat dari In’am al-Hasan, tanpa adanya kesimpulan yang jelas. Sehinga mengesankan seakan jawaban In’am al-Hasan tidak terbantahkan. Padahal yang dikemukakannya adalah gaya bahasa dengan jurus mengelak, supaya kebatilan jama’ah tabligh tertutupi. Karena itu harus waspada. Yang perlu dilihat adalah dalil serta kebenaran, dan bukan hawa nafsu pembelaan membabi buta.

Demikian secara ringkas, kaum Muslimin hendaknya jangan sampai terbawa pada segala gerakan yang tampak pada lahirnya membawa rahmat, namun yang pada sebaliknya menyimpan laknat, termasuk di antaranya adalah jama’ah Tabligh ini. Hidup ini hanyalah untuk menghamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengikuti jejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kaitannya dengan hidup bersama, kaum Muslimin harus menjaga keutuhan persatuan umat Islam berdasarkan prinsip ajaran yang yang haq, prinsip ajaran yang dijalankan oleh Ahlu Sunnah wal jama’ah. Hidup ini bukan untuk bertualang mengikuti jama’ah-jama’ah yang ujung-ujungnya menyimpang dari jalan kebenaran. Jama’ah-jama’ah yang justeru memecah belah umat. Wallahu Waloyyu at-Taufiq.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun VII/1423H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]

0 komentar

Posting Komentar