Kamis, 27 April 2017

Risalah Talak (1), Hukum dan Macam Talak


Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Di saat zaman semakin jauh dari ilmu. Di saat ilmu diin tidak lagi menjadi perhatian, berbagai hukum pun menjadi rancu dan samar. Salah satunya dalam masalah perceraian antara suami istri. Tidak sedikit kaum muslimin yang blank akan hukum seputar talak. Sehingga sebagian suami begitu entengnya mengeluarkan kata talak dari lisannya. Ia seolah-olah tidak sadar bahwa hal itu sudah dihukumi jatuh talak. Itulah karena amalan dan lisan tidak didasarkan atas ilmu. Terjadilah kerusakan tanpa ia sadari. Oleh karena itu, berlatar belakang hal ini, kami berusaha menyusun risalah ringkas mengenai talak (perceraian) yang moga bermanfaat bagi rumah tangga kaum muslimin. Allahumma yassir wa a’in (Ya Allah, mudahkanlah dan tolong kami dalam urusan ini).

Pengertian Talak

Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang berarti melepas atau meninggalkan.

Secara syar’i, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.[1]

Dalil Dibolehkannya Talak

Allah Ta’ala berfirman,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Tholaq: 1)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Hendaklah ia meruju’ istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wajalla.”[2]

Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma’) akan dibolehkannya talak. ‘Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat. Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung henti. Karena masalah inilah, syari’at Islam membolehkan syari’at nikah tersebut diputus dengan talak demi menghilangkan mafsadat.[3]

Kritik Hadits

Adapun hadits yang berbunyi,

أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ

“Perkara yang paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak.”[4] Dalam sanad hadits ini ada dua ‘illah (cacat): (1) dho’ifnya Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus … Abu Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sanad hadits dari Al Hakim dinilai dho’if. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dho’if. Di antara yang mendho’ifkannya adalah Al Baihaqi[5], Syaikh Al Albani[6], dan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi[7].

Hukum Talak

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.”

Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, talak yang haram yaitu talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.

Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada diteruskan.

Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin  lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).

Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun sulit diperingatkan.

Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari menikah.[8]

Macam Talak: Talak Sunni dan Talak Bid’i

Sebagian ulama membagi talak menjadi dua macam, yaitu talak sunni dan talak bid’i.

Talak sunni adalah talak yang mengikuti petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri ketika istri dalam keadaan suci (bukan masa haidh) dan belum disetubuhi.[9]

Talak bid’i adala talak yang menyelisihi petunjuk Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu mentalak istri di saat istri dalam keadaan haidh atau mentalaknya dalam keadaan suci setelah disetubuhi.[10]

Insya Allah risalah talak ini masih berlanjut pada serial berikutnya. Moga menjadi ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[Cerkiis.blogspot.com, Panggang-GK, 25 Shafar 1432 H (29/01/2011), www.rumaysho.com]

Footnote :
[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar, Darul Ma’rifah, 1379, 9/346.
[2] HR. Bukhari no. 5251 dan Muslim no. 1471.
[3] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki, Dr. ‘Abdul Fattah Muhammad Al Halawi, Dar ‘Alam Al Kutub, 10/323
[4] HR. Abu Daud no. 2178, Ibnu Majah no. 2018, dan Al Hakim 2/196.
[5] Sunan Al Baihaqi, 7/322.
[6] Irwaul Gholil no. 2040
[7] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, Musthofa Al ‘Adawi, Maktabah Ibnu Taimiyah, cetakan pertama, 1409, 10-12.
[8] Lihat Fathul Bari, 9/346, Al Mughni, 10/323-324, Shahih Fiqh Sunnah, 3/224.
[9] Sebagian ulama ada yang menambahkan bahwa talak sunni adalah talak yang harus dihadiri oleh dua orang saksi.
[10] Ahkamuth Tholaq fi Syari’atil Islamiyyah, hal. 13-14.

0 komentar

Posting Komentar