Rabu, 21 Desember 2016

DPRP : Polisi Arogan, Dimana Demokrasi?

DPRP : Polisi Arogan, Dimana Demokrasi?
Ketua DPRP, Yunus Wonda.
Jayapura -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Yunus Wonda meminta pihak kepolisian untuk tidak membungkam hak demokasi Orang Asli Papua.

"Dengan adanya penangkapan sejumlah massa aksi dama kemarin, saya mau sampaikan kami menyesali sikap yang diambil pihak kepolisian. Apapun alasan, yang dilakukan masyarakat adalah demo damai. Kami tidak setuju dengan sikap arogan pihak kepolisian," kata Yunus Wonda ketika menghubungi Jubi via teleponnya, Selasa (20/12/2016).

Ia tekankan, Indonesia adalah negara demokrasi, untuk itu biarkan masyarakat Papua menyampaikan aspirasi dengan bebas, jangan dibungkam terus.

"Saya selaku ketua DPRP sangat menyesali sikap yang dilakukan pihak kepolisian," ucapnya.

Melihat kejadian itu, dirinya merasa heran dan bertanya mengapa sampai hari ini kebebasan demokrasi masyarakat Papua masih saja di bungkam.

"Dimana demokrasi orang Papua. Sikap sikap seperti ini yang membuat Papua menjadi perhatian pihak Internasional," katanya.

Wonda katakan, sejauh ini pihaknya bersama pemerintah provinsi Papua selalu berusaha untuk meyakinkan ke pemerintah pusat, Papua ada di dalam bingkai NKRI, tapi kenapa sampai hari ini orang Papua selalu di tekan.

"Model seperti ini harus dihilangkan, karena sikap kepolisian sangat tidak bagus. Biarkan masyarakat sampaikan aspirasi, demo kan hanya menyampaikan aspirasi. Tidak ada cerita setelah menyampaikan aspirasi langsung Papua merdeka, tidak ada cerita seperti itu," kata Wonda dengan tegas.

"Ini sudah masuk dalam suasana natal, jangan lakukan penangkapan setiap kali masyarakat lakukan demo. Apa tujuan kalian? apa tujuan kami?. Kita berada di negara demokrasi, jangan pernah halangi masyarakat untuk menyampaikan demo damai," tambahnya.

Dia menambahkan, untuk menyikapi kejadian ini, awal tahun pihaknya akan menyurat ke Presiden untuk meyampaikan, hak demokrasi di Papua sedang dibungkam.


Di hari peringatan Trikora 19 Desember 2016, aparat gabungan Kepolisian dan TNI melakukan setidaknya 405 penangkapan, pemukulan, penyisiran dan penggerebekan sekretariat dan asrama mahasiswa di Di Jayapura, Nabire, Merauke dan Wamena.

Tindakan aparat itu menyusul pelarangan demo damai oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang memrotes Trikora 19 Desember 1961 dan dianggap sebagai titik awal pelanggaran HAM di Papua. Aksi damai juga dilakukan untuk mendukung keanggota penuh ULMWP di MSG.

Menurut catatan redaksi dari berbagai sumber lapangan, sebanyak total 405 orang ditangkap di empat wilayah Papua. Di Merauke sebanyak 126 orang ditangkap dan sudah dibebaskan, di Nabire 74 orang ditangkap dan 62 sudah dibebaskan, di Jayapura 40 orang ditangkap, 4 orang dikabarkan ada di Rumah Sakit Dok 2, dan di Wamena sekitar 165 orang ditangkap dan sekitar 30 orang sudah dibebaskan.

Ekspo, Jayapura

Aksi damai yang direncanakan sejak dua minggu terakhir tersebut tidak semuanya berhasil dilakukan. Di Jayapura Polres Kota Jayapura menghadang, membubarkan dan melukai demonstran Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di titik kumpul Expo, Kota Jayapura, Papua, Senin (19/12/ 2016).

"Polisi kali ini tidak ada negosiasi. Mereka datang langsung main dorong, pukul dan tangkap," ungkap Kobabe Wanimbo, kepada jurnalis Jubi di Ekspo dekat lokasi kejadian.

Kata dia, tindakan polisi yang brutal itu menyebabkan delapan demonstran KNPB luka-luka. Luka memar, lembam, hingga luka sobek hingga berdarah.

Delapan orang yang dipukul dan terluka antara lain Anton Pekei (19), Fredi Sobolim, Vitus Neilambo, Alo Nawipa (20), Natalis Magai (20), Maikel Pekei (19), Osman Kenangalem, dan Gio Wenda. (*)




Copyright ©Tabloid JUBIHubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

0 komentar

Posting Komentar