Kamis, 15 Agustus 2019

Mari Bersama Melestarikan Koteka di Tengah Arus Globalisasi

Mari Bersama Melestarikan Koteka di Tengah Arus Globalisasi
Imanuel Mimin (img. doc pribadi)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal


Oleh: Imanuel H. Mimin*)

Untuk Menghindari Ancaman Degradasi Budaya, Di Kalangan Generasi Milenial Papua.

Seluruh kalangan masyarakat Indonesia lebih khusunya Papua, pasti tidak asing lagi ketika mendengar nama koteka. Secara umum koteka adalah pakaian adat atau pakaian tradisional dari budaya sebagian besar suku-suku asli di dataran tinggi, pegunungan dan lembah Papua. Yang menjadi ancaman belakangan ini, yaitu pemahaman mengenai koteka sangatlah minim, yang dipahami masih sangat abstrak dan banyak mengandung stigma negatif. Pemahaman seperti begitu dapat berdampak buruk bagi eksistensi dan pelestarian budaya lokal Papua. Pandangan-pandangan tersebut secara tidak langsung sedang dan telah mematikan jati diri generasi muda dan menghilangkan kepercayaan diri dalam mempertahankan nilai budaya. Hal itu yang tidak diharapkan. Maka dari itu, saya ingin membagi sedikit penjelasan (menurut paham saya) melalui artikel singkat ini, dalam memaknai koteka dan bagaimana harus ada suatu keharusan untuk menjaga, melestarikan dan merasa bangga memiliki pakaian adat, pakaian tradisional koteka.

Penyebutan “koteka” berasal dari bahasa suku di Kabupaten Paniai. Sama halnya koteka yang sering disebut okbul oleh masyarakat Pegunungan Bintang dalam bahasa suku Ngalum dan bagi sebagian besar masyarakat suku di Jayawijaya, mereka menyebutnya holim/horim adalah pakaian adat khusus untuk laki-laki.

Pada umumnya koteka terbuat dari kulit buah labu air. Untuk membuat ukuran koteka, biasa dibuat disesuaikan dengan kegiatan yang akan di lakukan. Koteka yang ukurannya panjang biasa digunakan saat acara-acara tertentu seperti inisiasi adat, tarian adat atau acara formal kenegaraan dan pertunjukan-pertunjukan yang terlepas dari kegiatan sehari-hari. Contoh seperti di Pegunungan Bintang, masyarakat suku Ngalum pada saat mengadakan acara tarian adat yang biasa disebut okhang/oksang semua yang mengikuti atau memainkan tarian tersebut (kecuali penonton) menggunakan pakaian adat dengan beberapa aksesoris, laki-laki maupun perempuan. Khusus untuk laki-laki menggunakan koteka yang ukurannya panjang. Untuk kerja kebun, berburu dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari biasa mereka menggunakan koteka khusus yang berukuran pendek. Jika dilihat bersama, pakaian adat, pakaian tradisional yang dipakai atau yang biasa digunakan oleh seluruh suku bangsa asli yang menghuni dataran tinggi pegunungan dan lembah Papua khususnya laki-laki, hampir semua menggunakan benda yang terbuat dari kulit buah labu air tersebut (koteka).

Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat asli Papua mulai bersentuhan dengan dunia luar (mengenal peradaban) berawal dari masuknya misionaris yang datang membawa injil ke Tanah Papua. Kedatangan mereka sekaligus membawa peradaban bagi bangsa Papua. Dengan begitu masyarakat Papua pada umumnya, lebih khusus bagian pegunungan mulai mengenal yang namanya pakaian (celana, baju dan lain sebagainya) termasuk mulai mengenal beberapa alat teknologi canggih pada saat itu seperti sekop, parang, pisau, radio dll. Dengan begitu masyarakat meninggalkan koteka dan mulai menggunakan pakaian modern.

Kita semua tahu Perkembangan dunia dalam bidang teknologi sudah sangat pesat dan dengan begitu di era globalisasi modern ini, sudah bukan lagi jamannya orang menggunakan koteka sebagai pakaian sehari-hari. Memang benar sekarang bukan lagi jamannya orang menggunakan koteka sebagai pakaian pada saat melakukan aktivitas sehari-hari, akan tetapi disisi lain koteka harus dilestarikan selayaknya pakaian resmi pada saat acara-acara tertentu di muka umum (publik).

Agar tetap melestarikan pakaian tadisional “koteka” di tengah arus globalisasi ini, maka ada baiknya jika Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Pendidikan di setiap Kabupaten/Kota membuat trobosan-trobosan baru, seperti di bidang pendidikan harus ada pelajaran muatan lokal yang mengajar siswa untuk mempelajari tentang budaya pada tingkat sekolah dasar, menengah maupun atas. Bukan hanya mempelajarinya saja dan hanya sebatas mengetahuinya, akan tetapi output yang diharapkan dari mempelajari muatan lokal tersebut yaitu siswa dapat mengerti tentang pentingnya nilai-nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari, dan juga mereka dapat mengetahui cara membuat dan menggunakanya (mempraktekan). Setelah mempelajari budaya lokal setempat, maka siswa laki-laki wajib mempraktekkan menggunakan pakain adat (koteka). Atau di daerah suku lain sesuai dengan pakaian adat yang mereka miliki untuk memenuhi standar nilai kelulusan dalam tes mata pelajaran tersebut. Dengan begitu fungsi sekolah sangat membantu dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal. Sekolah di Papua akan bisa mencetak generasi-generasi muda Papua yang tidak buta akan budayanya.

Dengan pelestarian budaya lokal akan menunjukan sebuah eksistensi, keberadaan atau kenyataan (ada), identitas dan jati diri secara jelas bahwa suku bangsa di Tanah Papua mempunyai budaya yang jelas, sejarah yang jelas, berdiri di atas tanah yang jelas, punya leluhur yang jelas. Dari hal-hal tersebut menunjukan bahwa bangsa Papua bukanlah suku bangsa yang berasal dari tempat lain seperti berpindah-pindah tempat atau imigran dan lain sebagainya.

Di jaman sekarang, generasi muda khususnya Papua banyak yang keliru dalam menilai dan kurang mengetahui nilai yang sebenarnya dari koteka. Salah satu faktor yang menjadi penyebab utama kekeliruan tersebut yaitu, karena sering koteka dijadikan sebagai bahan ejekan (ditertawakan) kepada orang yang mengunakannya, atau dari sisi lain koteka identik dengan diskriminasi terhadap orang Papua yang berasal dari daerah pegunungan (kampungan, kotor, bau dan lain sebagainya).

Dengan begitu, mereka (generasi milenial) merasa bahwa “koteka” adalah pakaian tradisional yang hanya dipakai oleh orang-orang kampung/pedesaan, orang-orang yang ketinggalan, bodoh dan terbelakang (primitif) dari sisi pendidikan maupun peradaban dunia modern pada umumnya. Dengan perspektif tersebut membuat sebagian besar generasi milenial Papua sudah tidak lagi melihat koteka dengan pandangan yang absolut atau pandangan yang benar, dalam artian cara pandang mereka cenderung keliru.

Jika ditinjau lebih dalam, maka koteka bukan hanya sekedar suatu benda yang digunakan untuk menutup atau menjaga alat vital (kemaluan laki-laki) saja. Akan tetapi di balik itu, koteka mempunyai nilai, mengandung pemahaman dan pandangan yang luas.

Harus diketahui bersama, bahwa para pendahulu dan tetua adat memakai koteka, itu menunjukan suatu identitas dan jati diri yang jelas sebagaimana manusia yang beradap, manusia yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dan diberikan akal budi untuk berpikir maupun bertindak sama dengan manusia yang lainnya di muka bumi ini. Disisi lain koteka juga menunjukan kapasitas, intelektualitas leluhur pemilik negeri. Mereka diberikan pikiran yang baik untuk mencari, menemukan dan membuat alat dengan segala macam keterbatasan teknologi yang mereka miliki, mereka berhasil menghasilkan koteka sebagai pakaian adat laki-laki.

Sebagai bagian dari orang Papua, tanpa memandang suku (gunung atau pantai) saya pribadi bangga karena dengan keterbatasan yang mereka (leluhur) miliki, mereka bisa dapat mengatur sistem pola berkehidupan pada jaman itu dan mereka bisa menemukan, memilih, membuat dan memakai koteka sebagai pakaian adat khusus untuk laki-laki.

___
*)Penulis adalah mahasiswa di Universitas Kristen Satia Wacana, Salatiga, Jawa tengah.


Posted by: Admin
Copyright ©tabloid-wani.com/viaRedaksi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

0 komentar

Posting Komentar