Rabu, 12 September 2018

Dalam Konteks HAM Papua, Jokowi Tak Ada Bedanya dengan Prabowo

Dalam Konteks HAM Papua, Jokowi Tak Ada Bedanya dengan Prabowo
Mahasiswa dan pemuda Papua diangkut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan oleh polisi pada Selasa (4/9/2018) karena berdemo untuk memberikan dukungan kepada negara Vanuatu yang membawa isu West Papua dalam pertemuan Forum Kepulauan Pasifik pekan lalu.
Jayapura -- Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo (Jokowi) dianggap tak ada bedanya dengan Prabowo dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Jika Prabowo adalah pelaku pelanggaran HAM di Papua, maka Jokowi dianggap membiarkan insiden kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua terus terjadi. Keduanya akan bertarung dalam pemilihan presiden Indonesia tahun 2019 nanti.

“Menurut kami yang tinggal di Kabupaten Mimika, Jokowi tidak ada bedanya dengan Prabowo. Mengapa demikian, Prabowo adalah pelaku kejahatan HAM di Papua sedangkan Jokowi adalah Presiden RI yang mengetahui tentang pelanggaran HAM di Papua namun membiarkan hal itu terjadi berulangkali,” ungkap Odizeus Beanal, Direktur Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) kepada Jubi, Selasa (11/9/2018) sambil menyebutkan kasus-kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM di Paniai, Timika, Ndugama dan lainnya.

Dugaan pelanggaran HAM memang masih terus terjadi hingga saat ini. Bahkan dalam masa pemerintahan Jokowi, beberapa insiden kekerasan terhadap warga sipil yang mengakibatkan korban jiwa, penangkapan dan pembunuhan sewenang-wenang atau di luar hukum masih terus terjadi.

Amnesty International Indonesia mencatat sebanyak 38 kasus pembunuhan di luar hukum terjadi sejak tahun 2014 hingga pertengahan 2018. Dari 38 kasus ini tercatat 51 orang menjadi korban. Catatan ini terungkap dalam laporan “Sudah, kasi tinggal dia mati” yang diluncurkan pada pertengahan Juli lalu.

Upaya pemerintah dan penolakan korban

Pemerintah Indonesia melalui Menko Polhukam telah membentuk tim terpadu yang bertugas menghimpun data, informasi, dan analisa, yang laporannya akan diserahkah kepada presiden Jokowi. Tim yang dibentuk Mei lalu beranggotakan 39 orang dari Papua dan Jakarta. Tim ini disebut sebagai tim terpadu penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM Papua. Namun tim ini ditolak oleh rakyat Papua karena dianggap tidak netral.

“Tidak mungkin wasitnya, mereka yang diduga pelaku. Yang memfasilitasi tim ini Menko Polhukam. Dia militer. Sejak awal tim ini difasilitasi polisi. Bagaimana kami mau percaya?” ujar Peneas Lokbere, Koordinator Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) Papua.

Menurut Lokbere yang hingga saat ini terus mengorganisir korban-korban pelanggaran HAM Papua, tim ini telah diperpanjang masa kerjanya dibawah Menko Polhukam saat ini, yakni Wiranto. Wiranto malah mengusulkan dugaan pelanggaran HAM Papua diselesaikan melalui mekanisme adat.

“Ini tidak benar. Negara ini punya undang-undang tentang HAM dan Peradilan HAM,” kata Lokbere.

Hingga saat ini, menurut Lokbere ada ratusan korban kasus-kasus pelanggran HAM Papua yang masih meperjuangkan keadilan. Bahkan mungkin ada ribuan, karena dugaan-dugaan pelanggaran HAM ini terjadi sejak Papua dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 60-an.

Salah satunya adalah keluarga korban insiden Paniai Berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014.

“Jokowi pernah ungkapkan di hadapan lima ribu lebih masyarakat Papua di stadion Mandala Jayapura, ia segera menyelesaikan kasus Paniai Berdarah. Namun hanya janji hingga sekarang belum pelaku tersentuh,” kata Tinus Pigai, keluarga Apinus Gobai, yang menjadi korban insiden di Lapangan Karel Gobai, Paniai itu.

Menurutnya, kehadiran Presiden Joko Widodo berkali-kali di Papua sia-sia saja karena belum mampu memenuhi janjinya menyelesaikan kasus Paniai Berdarah.

Ketidakadilan berlanjut

Beanal mengatakan setiap pelaku kejahatan kemanusiaan dan pemimpin yg menyaksikannya namun membiarkanya tanpa mengambil tindakan yang tegas untuk menghentikan tidakan kejahatan kemanusiaan tersebut sama di mata Tuhan dan mata rakyat Papua.

“Demikian juga ketidakadilan yang terjadi di atas Tanah Papua ini. Mereka yang diberi amanat untuk menciptakan dan menjaga keadilan namun tidak melakukannya, juga dicatat sebagai pelaku pelanggaran HAM oleh rakyat Papua,” lanjut Beanal.

(Baca ini: #Breaking News: Massa Aksi ULMWP dari Sekitar Sentani, ±50 Orang Ditangkap)

Beanal menyinggung proses divestasi saham Freeport yang menurutnya tidak adil bagi rakyat Papua. Menurutnya, jika pemerintah Indonesia memang benar-benar ingin membangun Papua, maka dari 51 persen saham yang sedang dinegosiasikan oleh pemerintah Indonesia, Papua seharusnya mendapatkan 30 persen saham tersebut.

“Jika Jokowi ingin membangun Papua maka minimal rakyat Papua harus mendapatkan 30 persen saham freeport karena hanya dengan demikian maka itu bisa disebut wujud nyata keberpihakan pemerintah dan wujud keadilan Jokowi bagi kami, Orang Asli Papua,” kata Beanal. (*)


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

0 komentar

Posting Komentar